;

Zar Mose
3 min readJun 6, 2023

--

(3 Juni 2023) Selamat ulang tahun, Purnama

Aku adik yang egois. Berkali-kali aku menghindari obrolan yang berat denganmu karena aku sudah lelah dengan pekerjaan dan skripsiku. Aku rasa upayaku menghindar membuatmu lelah. Sekarang aku hanya bisa menyesali hari-hari yang kulalui. Andai kala itu aku mengenyampingkan segala kelelahanku dan selalu jadi tempat mengadu yang baik untukmu. Barangkali kita bisa menghalau pikiran-pikiran buruk bersama. Andai kala itu aku selalu mengangkat teleponmu meski aku sedang di tengah-tengah pergumulanku.

Jahat. Karir dan pendidikan terus-terusan aku jadikan alasan. Aku adik yang buruk. Ini juga yang membuatku kemudian membenci orang-orang yang sengaja mengabaikan keluarga dengan dalih “sibuk dan tidak ada waktu”. “Tapi kematian itu tidak terhindarkan” seseorang pernah mengguruiku. Seseorang yang jelas-jelas belum pernah dihadapkan kehidupan dan kematian sepertimu.

“Kemaren, aku membaca ulang Mourning Diary karya Roland Barthes, sebuah buku yang ia tulis setiap hari selama satu tahun pasca kematian ibunya. “I have known the body of my mother”, tulisnya, “sick and then dying”. Dan di sanalah aku berhenti. Dimana aku memutuskan untuk menulis tentangmu. Kamu, yang masih hidup.”

— Ocean Vuong

Aku pikir, aku akan menjadi seperti Ocean Vuong yang berhasil menulis buku di saat sosok yang dia tulis masih bernapas menikmati hidup. Aku masih menyesali menolak permintaanmu untuk mengirimkan naskah buku yang sedang kutulis. Aku bilang, “Aku malu” di saat sebenarnya yang ingin kukatakan adalah “Aku takut apa yang aku tulis memantik traumamu.” Tapi aku tidak tahu cara menyampaikan kekhawatiran itu. Aku masih harus merombak bahasaku, pikirku begitu. Hingga sampai lah kita di hari dimana naskahku sekarang ditulis sebagaimana Roland Barthes menulis Mourning Diary. Aku harus mengakui, tidak ada progres berarti dari naskah ini terhitung 168 hari (sekarang) sejak hari kamu dimakamkan. Menulis tentang kematian sangatlah sulit karena kita tumbuh diajarkan untuk menahan air mata. Raung-tangis dari yang-masih-tinggal hanya akan menyengsarakan si yang-sudah-pulang. Aku tidak punya kekuatan untuk hanya berdiam saat menulis tentangmu. Akan ada tangisan dan penyesalan. Akan ada jarak waktu yang panjang saat menulis satu kata dan menyambungkannya dengan kata-kata lain untuk membentuk kalimat tentang trauma dan perpisahan ini. Adakah yang paham rasanya saat menggoreskan tinta pada kertas persis seperti rasanya menyilet kulit sendiri?

Hari yang aku lewati semakin berat. Entah aku sudah tidak tahu harus bagaimana membahasakannya, kata “mati” dan “menyerah” sudah cukup berat menampung segala yang ada di kepalaku. Aku masih sesekali mencoba untuk hidup (Sesekali. Hingga kadang aku lupa untuk melakukannya lagi). Aku mencari-cari pertolongan kenalan lewat tweet, yang berujung membuatku merasa menyedihkan. Aku merasa mengemis kepada kenalan-kenalanku untuk mau membaca naskah-naskahku, yang lagi-lagi membuatku merasa menyedihkan. Aku coba mengimbangi hidup dengan janji-janji baik: pergi staycation; perawatan kulit; hunting kafe baru, yang di setiap janjinya hanya membawaku pulang padamu. “Andai saja aku bisa lakukan ini bersamamu. Pasti lebih asyik.” Bodoh. Aku rasa aku tidak bisa kabur dari perasaan ini. Aku ingat seorang psikolog pernah berkata bahwa emosi, seperti rasa sedih, ada untuk dirasakan. Apakah penyesalan juga demikian?

Beberapa waktu yang lalu, salah seorang sahabatku akhirnya menemui cinta yang selama ini dia cari. A sapphic couple tepatnya. Apa sih yang lebih indah dari itu? Di saat aku bertemu dengan mereka berdua, aku tidak kuasa menahan tangisku. Aku gembira dan sedih di saat bersamaan. Andai itu kamu dan kekasihmu. Aku akan memeluk kalian erat untuk menyambut perjalanan panjang kalian. Bodoh. Lagi-lagi hanya “andai”.

Kak, aku tidak berhasil jadi cum laude. Lagi-lagi sebuah penyesalan. Aku belum yakin dengan keputusanku untuk melanjutkan S2. Aku masih bergumul di tanda koma yang pelan-pelan menjadi tanda titik koma — (aku ingin masih ada paragraf-paragraf utuh setelah ini meski aku tidak yakin;)

--

--

Zar Mose

Abrahamic queer poet | author of Galeri Hormonal |