Kunang-Kunang Mengerumuni Matamu

Zar Mose
4 min readFeb 11, 2021

--

Setelah malam ini kamu akan menjadi sesuatu yang baru. Seekor merak. Bukan lagi manekin tidak berdaya yang setiap harinya dirias, disentuh, berjalan kaku dengan bahu harus seimbang. Kamu akan merias dirimu, menyentuh orang lain, dan berjalan karena keinginanmu. Malam ini, kamu akan melihat dirimu keluar dari kepompong menjadi seekor burung merak.

Di dompet kamu masih menyimpan pas foto sewaktu SMA. Kamu melihat iba menjalar pada wajah 4x3 hitam-putih itu. Kamu teringat bagaimana di hari Minggu setelah sholat tarawih mamak menunggumu di ruang tamu. Kamu seperti tahu apa yang akan terjadi. Begitu vas bunga dilempar mengenai dinding tembok dan kepalan tangannya menghampiri kepalamu, kamu melihat semuanya berubah kelabu, dan kunang-kunang mengerumuni matamu. Kamu menyelamatkan diri keluar dari rumah. Berusaha menghubungi siapapun yang bisa. Hingga akhirnya Fahmi, bersama Dina, membawamu ke kosnya.

Pagi harimu disambut dengan gaduh. Wajah Fahmi babak belur. Dina mencoba menghalangi pintu. Mamakmu membikin rusuh seisi kos. Mamak kemudian menarikmu ganas keluar kos. Tidak ada yang bisa kamu lakukan untuk Fahmi, atau untuk sahabatmu Dina. Untuk terakhir kali, kamu meneriakkan namanya. Fahmi mendengarmu di balik sayup-sayup. Dia sama tidak berdayanya denganmu. Kamu bisa menyaksikan sebuah tali dengan serat-serat kecil yang hampir putus. Di ujung sana, adalah Dina dan Fahmi, sedangkan kamu ada di sisi lainnya dengan tangan sama-sama berdarah.

Sejak itu, kamu menjadi akrab dengan berbagai upaya terapi religius. Kamu dibacakan ayat-ayat suci, meminum air dari tujuh sumur surau berbeda di kota Bukittinggi, kamu dimandikan pukul empat pagi dengan air yang ditaburi kembang, dan masih ada hal-hal lainnya. Ini semua demi mengembalikanmu pada kesucian Yang Kuasa. Seperti yang dikatakan mamak, supaya kamu tidak tersesat lagi. Bagimu di depan mamak yang ada hanyalah kepasrahan. Tidak sopan untuk seorang kamanakan melawan yang dianggap paling benar di rumah gadang.

Fahmi sudah tidak menghubungimu sejak itu. Teleponmu tidak pernah diangkat. Dina juga tidak pernah lagi berkabar. Surat-surat cintamu pada Fahmi tidak pernah terkirim. Biasanya di saat-saat seperti itu Dina satu-satunya yang akan mebantumu menyampaikannya.

Apa lagi yang akan menjadi alasanmu untuk bertahan? Selain rasa segan, takut, pada mamak? Bahkan kamu merasa mengerikan terlahir dari benih antah berantah, dan ibumu yang sama tidak berdayanya denganmu, dengan Fahmi, Dina, tidak tahu harus berbuat apa — karena di sini, mamak telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Yang menjadi alasan untukmu masih bertahan adalah seseorang yang ada di dalam dirimu.

Dia sedikit pemalu, tangannya lentik, bicaranya pelan, dan dia mandiri. Kamu bisa bayangkan hal-hal paling lembut di muka bumi. Bila dia berdiri di depan cermin, yang akan dia lihat adalah seseorang dengan tinggi semampai, senyum paling ramah sepanjang wajah yang pernah ada, rambut halus berkilau seperti diolesi zaitun. Namun rangkaian terapi ini telah menyiksanya. Mungkin pantulan bayangan di depan cermin itu telah berubah bentuknya. Ia lari ke dalam dirimu yang paling sempit; di balik serimbunan gusar, gelisah, malu, dan kata-kata kutukan dari mamak — karena ini semua gelap gulita, dan tidak ada yang mampu menembus kepekatannya.

Satu tahun sudah sejak terapi itu. Mamak tampak sedikit puas. Kamu berhasil membiarkan kulitmu terkikis dan mengatakan bahwa kamu telah sembuh, kamu telah kembali pada jalan yang seharusnya. Kamu berhasil mengelabuinya entah untuk berapa lama pikirmu.

Suatu waktu sepulang sholat Jumat kamu mendapati kabar itu. Dari mamakmu. Fahmi akan segera menikahi Dina — ia ketahuan mengandung, sudah masuk bulan ketiga. Fahmi harus mempertanggung jawabkannya. Kamu berserakan di ruang tamu. Rasanya seperti menjadi vas bunga yang dilemparkan mamak ke arahmu kala itu, pecah hingga beling paling kecil. Terlalu kecil hingga kamu bisa melihat sejuta wajah sedihmu berserakan di atas lantai.

Setelah semua ini, aku hanya akan menjadi sebatang tubuh kesepian. Seseorang yang ada di dalam diriku akan mengerut dan mati perlahan seperti daun kering, sebab akarnya telah mencabut diri dari batang, bercerai dengan tanah.

Kamu mengelap air matamu. Wajah 4x3 itu akan tersenyum melihat metamorfosis paling menakjubkan dalam sains. Kamu menyaksikan perubahan ulat menjadi kupu-kupu dalam praktikum Biologi sewaktu SMA. Kamu membayangkan dirimu — kedua tanganmu menyeruak dari sutra dan dengan wajah mengantuk kamu mengucapkan selamat pagi. Betapa bahagianya, tertidur dalam semua kegelapan, melepaskan, dan membiarkan yang alamiahnya rontok sebagai masa lalu — dan melanjutkan hari-hari sebagai seseorang yang baru. Kemudian dengan bebas menjadi seseorang yang selama ini menutup diri dengan serimbunan gusar, gelisah, malu, dan kata-kata kutukan dari mamak.

Karirmu jadi model bisa terancam, Uda

Memang ini tujuan awalnya aku masuk jadi model”, ucapmu yakin.

Kamu melihat lagi brosur operasi transisi itu. Nominal yang besar, namun kamu menyanggupinya. Ongkos ke Singapura tidak mahal karena kamu akan berangkat dari kota Batam.

Kamu memandangi brosur dengan penuh pengharapan. Dengan telaten kamu melipat setiap sisi brosur. Menjadi segi tiga, segi empat, kerucut, hingga menjadi pesawat.

Ini akan menerbangkanku menuju perempuan yang selama ini bersembunyi di dalam tubuhku. Tunggu aku. Tunggu aku.

Gelap. Kunang-kunang di mataku masih belum seberapa. Kepalamu masih terasa pusing karena pukulan mamak, namun kamu cukup beruntung karena Fahmi cepat menghampiri dan menyelamatkanmu. Sekarang, di atas truk semuanya bergoyang. Jalanan berbatu sudah dilewati kira-kira sepanjang lima kilo meter. Pertanda kalian berdua sudah mendekati terminal.

--

--

Zar Mose

Abrahamic queer poet | author of Galeri Hormonal |