Kevin tidak begitu paham apa yang ada di kepala Iman saat ia memutuskan untuk memilih tidak menjadi apa-apa lagi. Dengan “tidak menjadi apa-apa lagi” adalah sebuah keputusasaan bagi seseorang seperti Iman. Sekarang apa yang dapat kita lihat hanyalah Iman dengan isi kepala yang berkabut — dan kabut terus menebal hingga mungkin membuat sesak siapa-siapa yang hendak memadamkannya.
“Aku tidak ingin menjadi apa-apa lagi” ia terus terisak. Bagi Kevin, ucapan ini adalah sebuah ironi. Iman — Ia telah menjadi seorang barista di salah satu kedai kopi, ia telah menjadi seorang pramusaji di rumah makan Padang, untuk menambah uang saku kuliah tak lupa ia membuka jasa penerjemahan. Untuk menjadi tidak apa-apa lagi tentu adalah titik didih dari panasnya timah dalam dirinya — atau karet yang terus direnggangkan hingga sesak dan hendak meluap karena tidak tahan.
Iman masih bergetar seperti seseorang diguyur air dingin. Bibirnya putih biru dan jangan ditanya mengenai berat badannya — ia seolah bukan ia. Kevin tidak bisa banyak bertanya, saat ini ia hanya akan mendengarkan setiap lontar kata yang sedikit-sedikit diucapkan oleh temannya itu.
“Hey aku di sini, tidak apa-apa. Perlahan-lahan” Kevin terus memberikan pelukan dan mengusap-usap menepuk-nepuk punggung Iman yang masih pasi.
Ini adalah kali ketiga Iman menjelma seseorang yang bukan ia. Bukan berarti semacam kepribadian ganda namun sesuatu ganjil yang tidak biasa orang lain lihat dari dirinya. Menjelang Natal tahun lalu, Iman menangis sepanjang malam, dan tanpa ia ketahui suara tangisnya terdengar hingga kamar kos sebelah. Ini membuat panik Naufal, ia memastikan tetangganya itu baik-baik saja dan langsung masuk ke dalam kamar — ia mendapati Iman meringkuk dengan sobekan lembar jurnal dan beberapa sobekan ayat dari Alkitab. Iman adalah seorang muslim, dan ia rajin melaksanakan sholat berjemaah ke masjid dekat kos. Sesekali lantunan quran terdengar dari kamarnya. Wajar bukan melihat kondisi ini sebagai sebuah keterbaruan yang membingungkan? Naufal, laki-laki biasa yang tidak begitu paham cara menenangkan, duduk di sebelahnya dan menepuk-nepuk pundaknya. Hanya itu yang bisa ia lakukan, dan Iman hanya menyudahi dengan terima kasih dan “sudah tidak apa-apa”.
Iman pernah mendapati dirinya menangis berjam-jam di toilet kampus sambil menghisap sebatang rokok. Ia sebetulnya tidak familiar dengan rokok. Namun sepertinya ia menemukan selang untuk bernapas lega melalui batangan itu. Salah satu teman sekelasnya kemudian mengetahui keberadaannya dan dengan paksa membuka pintu toilet yang memang berpasak rusak.
Iman — ini bukan kau! Engkau telah pergi ke mana?
Bukan satu dua orang melihat perubahan Iman.
Bagi mereka Iman adalah mahasiswa rantau yang penuh ambisi. Ia menelan Das Kapitalis dan menulis resume memuaskan yang sempat disebut-sebut oleh dosen. Tidak jarang juga telah menjadi Si Yang Lebih Tahu dalam mata kuliah Sejarah Sastra. Jangan pernah berdebat dengannya bila kau belum mencerna The Second Sex[1] dengan baik, atau bila mazhab andalanmu hanya Sigmund Freud tatkala ingin membahas homoseksualitas[2]; baginya dunia terus mengalami pembaharuan, dan apakah “tidak menjadi apa-apa” adalah sebuah keterbaruan?
Bukan rasanya tidak mungkin seseorang seperti itu menjadi pemurung — namun agak sulit dibayangkan, ada grafik yang terjun turun menuju tanda-tanda tanya.
Kevin tahu betul siapa Iman. Dan tampaknya Kevin adalah satu-satunya lelaki yang dia percaya. Kepercayaannya pada Kevin disimbolkan dengan keberaniannya untuk mengaku bahwa ia tidak tertarik pada perempuan manapun. Ia tidak pernah merasa seperti sepenuhnya Adam. Ia tidak pernah menjadi bulan penuh — selalu ada bagian dari dirinya yang adalah bulan sabit. Yang gelap itu adalah bagian dirinya yang lain, yang dalam Paradise Lost adalah Hawa. Namun seperti bulan sabit, Hawa adalah sebagian yang gelap itu — tidak ada yang mampu melihatnya.
Kevin mengetahui hubungan Iman dengan Benedict, seorang mahasiswa Teknik Geodesi semester akhir yang kebetulan juga bergabung dalam himpunan mahasiswa Katolik. Mereka sama-sama berasal dari paroki Santo Petrus. Beberapa kali ia sempat mengikuti misa yang sama dengannya. Sejauh yang ia tahu, Ben laki-laki yang ramah. Hubungan mereka tentu sembunyi-sembunyi. Namun tampaknya bukan hanya hubungan itu — lebih dari itu apa yang mereka lalui tampak menjelma parasit bagi salah satu atau keduanya.
Apa yang bisa kita ketahui sekarang adalah Kevin menodong dirinya dengan sejumlah gaduh. Belum lama ini Iman bercerita tentang kecemasannya perihal keturunan. Mungkin ini karena belakangan ia membaca karya-karya Norman. Iman bercerita tentang Sara dan Abraham — perihal keturunan — laki-laki seperti dia tidak akan pernah lebih beruntung dari Sara dan Abraham. Laki-laki seperti dia tak akan berketurunan. Tidak ada Ismail dalam catatan hidupnya. Tidak ada keturunan kita akan sebanyak awan di angkasa[3]. Pernikahan dan keturunan adalah Surga yang tertulis di puisi lain yang tidak membicarakannya[4]. Lantas apakah ini yang membuat ia begitu risau? Atau apakah ini ada hubungannya dengan Benedict? Kevin hanya bisa membiarkan kepalanya menyimpul sejumlah pertanyaan.
“Vin, dia menulariku.”
Seketika kamar Iman terasa hampa yang paling kosong.
Iman menangis dan terus mempercayakan ketakutannya pada Kevin.
Kevin membatu, tangannya seketika berhenti mengusap-usap punggung Iman — Kevin mempererat pelukannya dan tidak sanggup untuk tidak melepas air mata dari kotak yang pasti sudah lama tidak melepaskan kesedihan. Ia memeluk Iman seerat dan sehangat yang ia bisa seolah-olah “menulariku” akan menjadi kata terakhir yang ia dengar dari sahabatnya.
“Vin, aku lelah”
“Vin, aku nyerah”
“Nggak Man. Enggak! Kamu gak akan nyerah, kamu kuat aku tahu itu!” Tangis Kevin pecah berantakan. Apa yang ia tahu tentang Iman? Sejauh apa ia mengenal Iman? Apakah ia hanya seorang dalam perjalanan yg kebetulan sama — namun tidak membalikkan punggung di saat salah seorang dari mereka terjerambat dalam semak? Kemana saja ia selama ini? Apakah semua musafir selalu melihat ke depan dan melupakan yang di belakang?
“Vin aku gagal. Aku gagal dalam banyak hal. Apa yang aku harapin? Ini nggak akan pernah sembuh. Aku gak lebih dari kegagalan. Aku nggak pantes hidup Vin!” Iman meracau kata-katanya tidak beraturan. Persis seperti Kevin pertama kali blackout selepas menenggak anggur.
“Dia ninggalin aku setelah menulariku.”
Memeluk Kevin tidak betul-betul sebuah keterbaruan baginya, namun menangis di depan Kevin — pasti tentu. Sekarang Iman seperti menalanjangi kulit di depan Kevin. Dia tidak selamanya bisa menyembunyikan parasit di balik tubuhnya. Tangis keduanya benar-benar memecah jam 3 pagi. Tidak ada yang mendengar, hanya mereka berdua berbagi air mata. Kevin mengusap-usap kepala sahabatnya, dan terus memberikan afirmasi positif “Man, aku di sini. Kamu enggak sendirian. Aku akan bersama kamu untuk melewati ini.” Iman adalah mesias baginya. Orang pertama yang ia kenal di kota ini. Orang pertama yang pasang badan di saat-saat sial. Mungkin ini adalah waktunya untuk ia menutupi badan Mesias dari lemparan batu. Sebagai bentuk paling setia — ia memeluk Iman dan merebahkan tubuh mereka di atas kasur.
Kevin menyingkirkan pisau yang hampir menyalib Mesias — ia melempar pisau itu hingga mengenai pintu kamar.
Tangannya terus mengusap kepala Iman. Iman tertidur — meringkuk menenggelamkan kepalanya dalam pelukan.
Sebuah pesan masuk ke handphone Iman:
Mama
Indak usah baliak ka rumah. Keluarga malu samo ang.
Ang parasit dek kami[5].
Kevin memeluk Iman semakin erat. Dalam volume suara paling bisik ia berkata aku akan menjadi yang terakhir, berbahagialah, berbahagialah. Sudah datang waktu untuknya menjalankan kisah Paradise Lost[6], sebagai separuh Adam dan separuh Hawa dalam satu badan — dan sebuah khuldi yang larut menyerebak di sekujur tubuhnya.
Catatan :
[1] Buah pikiran Simone de Beauvoir mengenai feminisme.
[2] Mazhab Sigmund Freud mengatakan bahwa kurangnya kasih sayang keluarga berdampak pada pembentukan orientasi seksual anak. Teori ini sudah dibantah oleh penelitian baru.
[3] Diambil dari cerita pendek Norman Erikson Pasaribu yang berjudul Keturunan Kita Akan Sebanyak Awan di Angkasa.
[4] Terinspirasi dari puisi Norman Erikson Pasaribu yang berjudul Inferno.
[5] Bahasa Minang yang apabila diterjemahkan menjadi “Nggak usah pulang ke rumah. Keluarga malu sama kamu. Kamu cuman parasit buat kami.
[6] Puisi karya John Milton mengenai pengusiran Adam dan Hawa dari Eden.